Oleh Prof. Dr. H. Soedijarto, MA
I. Buku K. H. R. Zaenuddin Bey Fananie Tentang Pedoman Pendidikan Modern sebagai Fenomena Sejarah Pendidikan Indonesia
Adanya buku
yang ditulis 78 tahun yang lalu dan mengupas semua elemen dari
pendidikan seperti kedudukan pendidikan, tujuan pendidikan, metode
pendidikan, pembagian pendidikan, jenis-jenis pendidikan (pendidikan
tubuh dan rohani, pendidikan budi pekerti), pendidikan rumah tangga,
pendidikan sekolah, hubungan antara rumah tangga dengan sekolah,
kewajiban orang tua terhadap anaknya yang menjadi murid sekolah, cara
mendidik, pendidikan sosial, pendidikan kepanduan, dan pendidikan
pemuda, merupakan fenomena sejarah yang luar biasa. Karena pada saat
itu, para tokoh pergerakan seperti Soekarno dan Mohammad Hatta sedang
berada di pembuangan, dan rakyat pribumi yang menikmati pendidikan
modern seperti HIS seperti yang diiikuti K. H. R. Zaenuddin Bey Fananie
sangatlah terbatas, tidak lebih dari lima puluhan ribu murid di seluruh
Nusantara. Karena itu yang menjadi pertanyaan adalah “Mengapa karya
tentang pendidikan yang isinya komprehensif itu tidak dapat menjadi
sumber inspirasi bagi pergerakan pendidikan nasional kita?” Namun
dampaknya pada lahirnya Pondok Pesantren Modern Gontor merupakan bukti
betapa makna pemikiran K. H. R. Zaenuddin Bey Fananie. Pertanyaan
berikutnya adalah “Mungkinkah K. H. R. Zaenuddin Bey Fananie menulis
buku itu yang merujuk kepada tokoh-tokoh pemikir pendidikan barat seerti
Plato, J. J. Rousseau, dan John Dewey, kalau beliau tidak mengalami
pendidikan barat yaitu HIS (Hollands Inslansche School-Sekolah Belanda
untuk Pribumi)?” Pertanyaan ini saya singgung untuk memahami betapa
pendidikan berpengaruh kepada pemikiran seseorang. Pertanyaan ini dapat
dilanjutkan “Dapatkah lahir Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim,
Natsir, dan lainnya kalau mereka tidak mengalami pendidikan modern
(barat)?” Saya sengaja tidak menganalisis buku K. H. R. Zaenuddin Bey
Fananie secara akademik melainkan karya seorang pejuang pemikir. Karena
itu apresiasi saya kepada buku tersebut dari segi akademik melainkan
sebagai sebuah karya yang merupakan fenomena sejarah yang dapat
mengilhami generasi penerus, dan sumbangnya pada perjuangan bangsa.
Selanjutnya izinkanlah saya menyampaikan pandangan saya terkait dengan
pendidikan nasional yang dihadapi sekarang ini, seperti diulas oleh
Bapak Drs. H. Husnan Bey Fananie dalam butir berikut.
II. Hakekat, Fungsi, dan Tujuan Pendidikan Nasional
Para pendiri
republik sadar akan ketertinggalan Indonesia diukur dari tingkat
peradaban modern dipertengahan abad ke-21 menetapkan “Mencerdaskan
kehidupan bangsa” melalui diselenggarakannya “Satu sistem pengajaran
nasional sebagai misi utama penyelenggaraan pemerintahan negara.” Karena
itu UU No. 20 tahun 2003 menetapkan hakekat, fungsi, dan tujuan
pendidikan nasional. Kutipan berikut menunjukkan bagaimana hakekat,
fungsi, dan tujuan pendidikan nasional.
1. Hakekat pendidikan dirumuskan sebagai berikut:
“Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”
2. Fungsi dan tujuan pendidikan nasional dirumuskan sebagai berikut:
“Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dari
kutipan-kutipan di atas jelaslah bahwa sesungguhnya pendidikan nasional
dirancang untuk melahirkan manusia Indonesia yang utuh, yang memiliki
kemampuan dan membentuk watak. Untuk itu perlu menghayati proses
pembelajaran untuk dapat memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan. Masalah yang dihadapi adalah, bagaimana ketentuan dasar,
baik hakekat, fungsi, dan tujuan pendidikan yang demikian ideal, dalam
praktek terjadi pendidikan yang kondisinya seperti yang dikritik oleh K.
H. R. Zaenuddin Bey Fananie. Sesungguhnya UU No. 20 Tahun 2003 sudah
mengarahkan agar satuan pendidikan menjadi pusat pembudayaan untuk itu
bagian berikut mencoba mengulasnya.
III. Satuan Pendidikan sebagai Pusat Pembudayaan
Pasal 31 UUD
1945 sebelum diamandemen menetapkan “Pemerintah mengusahakan dan
meyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional”. Nampaknya para pendiri
bangsa sadar bahwa untuk dapat menunjang proses mencerdaskan kehidupan
bangsa yang menurut saya hakekatnya adalah proses transformasi budaya
dari tradisional ke modern dan dari feodalistik ke demokrasi. Dan
sejalan dengan itu UU No.20 Tahun 2003 yang menetapkan satuan pendidikan
(sekolah) sebagai pusat pembudayaan yaitu suatu proses membudayakan
kemampuan, nilai, dan sikap dimana dalam kaitan ini kedudukan keluarga
dan masyarakat? K. H. R. Zaenuddin Bey Fananie dalam bukunya secara
jelas mendudukan keluarga dalam kaitannya dengan pendidikan anak, bahkan
peranan orang tua dalam hubungan “murid”. Pertanyaannya mengapa UU No.
20 Tahun 2003 meletakkan “sekolah sebagai pusat pembudayaan?” Untuk
menjawab pertanyaan kita perlu merujuk peran sekolah dalam peradaban
dunia. Sejak industrialisasi terjadi perubahan dalam kehidupan
masyarakat. Kehidupan keluarga pun berubah, orang tua (bapak-ibu) di era
pasca industrialisasi, seperti kehidupan masyarakat Indonesia sekarang,
meninggalkan rumah sejak pagi sampai sore untuk bekerja. Untuk itu anak
perlu berada di lembaga pendidikan sekolah. Di samping itu kondisi
kehidupan terus berubah, untuk itu generasi muda perlu disiapkan
memasuki masyarakat baru baik dari segi politik, ekonomi, sosial, dan
budaya. Suatu kondisi yang memerlukan kemampuan sikap dan nilai yang
baru. Untuk itulah sebabnya sekolah harus mampu menjadi pusat
pembudayaan agar hakekat, fungsi, dan tujuan pendidikan yang digariskan
dapat terwujud.
IV.
Sistem kurikulum dan Guru Profesional yang Relevan dengan Tuntutan
yang Bermutu yang Mampu Mewujudkan Fungsi Pendidikan Nasional dan
Mencapai Tujuan Pendidikan Nasional
Agar pendidikan
(sekolah) dapat bermakna sebagai pusat pembudayaan kemampuan, nilai,
dan sikap sebagai yang termuat dalam tujuan pendidikan nasional, perlu
dirancang, dikembangkan, dan dikelola sistem kurikulum yang meliputi isi
kurikulum, model pembelajaran, dan program evaluasi yang relevan baik
secara epistemologi, psikologi, sosial, dan moral.
Tentang isi, sesuai dengan pandangan Philip Phenix perlu memenuhi syarat:
a. Dipilih dari disiplin ilmu pengetahua
b. Dipilih dari konsep-konsep utama suatu disiplin yang mewakili hakekat disiplin tersebut
c. Mengutamakan method inquiry
d. Dapat mendorong peserta didik berpikir imajinatif
Dengan bahan
pelajaran yang terpilih tersebut akan memungkinkan proses pembelajaran
yang kualitasnya seperti digariskan dalam pasal 1 ayat (1) seperti yang
dikutip pada bagian II.
Agar dapat
terwujud proeses pembelajaran yang dapat mendorong peserta ddidik aktif
mengembangkan potensi dirinya perlu dikembangkan model pembelajaran yang
dianjurkan oleh Komisi Internasional UNESCO yang terkesan dengan nama
empat Pilar Belajar: Learning to Know, Learning to Do, Learning to Live
Together, and Learning to Be.
Model
pembelajaran yang menetapkan empat pilar belajar tersebut akan bermakna
sebagai proses pembudayaan bila didukung dengan program evaluasi yang
komprehensif, terus-menerus, dan obyektif.
Model
pembelajaran yang bermakna pembudayaan hanya mungkin terwujud bila
dilaksanakan oleh guru yang profesional, yaitu guru yang mampu
merencanakan, mengembangkan, mengelola, dan mengevaluasinya secara
relevan.
Dan kesemuanya
itu hanya akan terwujud bila didukung oleh sumber daya pendidikan, yaitu
perpustakaan, laboratorium, lapangan olahraga, dan tempat ibadah.
V. Buku Pedoman Modern Karya K. H. R. Zaenuddin Bey Fananie sebagai Sumber Inspirasi
Dari ulasan
dari bagian II sampai III sesungguhnya UUD 1945, UU No. 20 Tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional yang memuat ketentuan tentang hakekat
pendidkan, fungsi pendidikan nasional, dan prinsip yang bila
dilaksanakan secara konsisten akan memungkinkan terlaksananya fungsi dan
tercapainya tujuan pendidikan nasional. Kenyataan yang kita hadapi
tidaklah demikian, membaca tulisan K. H. R. Zaenuddin Bey Fananie yang
78 tahun lalu sudah memikirkan bagaimana harusnya pendidikan
dilaksanakan, hendaknya menginspirasi bagaimana generasi penerus
memecahkan masalah pendidikan nasional yang tantangan dan landasan
hukumnya jelas.
Terinspirasi
tidak sama dengan mengambil apa adanya dari buku tersebut. Dalam bahasa
Bung karno “Jangan tangkap abunya tetapi tangkap apinya, yaitu
spiritnya” kalau 78 tahun yang lalu K. H. R. Zaenuddin Bey Fananie telah
berkenalan dengan Plato, J. J. Rousseau, dan John Dewey. Bagaimana
dengan generasi penerusnya? Sudahkah membaca teori pendidikan klasik,
modern, sampai mutakhir. Karena itu marilah kita meneladani yang pada
zamannya memikirkan pendidikan modern bahkan mewujudkan Pesantren Modern
Gontor.
300 × 250 - harrys.student.umm.ac.id
400 × 299 - buset-online.com
400 × 312 - buset-online.com