Pada saat reformasi digulirkan,
masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupannya,
termasuk sektor pendidikan. Sebab, sektor pendidikan memiliki peran yang
strategis dan fungsional dalam upaya mewujudkan perubahan tersebut. Tetapi,
kata Tilaar, pendidikan di Indonesia selama ini diatur dengan sistem pendidikan
nasional yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan politik bangsa. Akibatnya,
menghasilkan manusia-manusia Indonesia tertekan, tidak kritis, bertindak dan
berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya mengabdi kepada
kepentingan kelompok kecil rakyat Indonesia.
Kebijakan pendidikan kita, berpikir dalam acuan keseragaman. Dapat dikatakan bahwa selama ini kebijakan pendidikan semuanya terpusat. Kurikulum ditetapkan di pusat, tenaga pendidikan ditentukan dari pusat, sarana dan prasarana pendidikan diberikan dari pusat, dana pendidikan ditentukan dari pusat, semuanya diseragamkan dari pusat. Maka yang terjadi adalah masyarakat jadi pasif tidak tahu dan tidak dapat berkecimpung di dalam kehidupan pendidikan anak-anak mereka.
Padahal, masyarakat memiliki harapan dan dampak terhadap upaya pendidikan di Indonesia, walaupun mereka mempunyai perbedaan dalam status sosial, peranan dan tanggungjawab. Hal yang sangat ironis lagi, adalah menempatkan pendidikan sebagai kerja “non akademik”, pendidikan diselenggarakan dengan “otorita” kekuasaan “administratif-birokratis”, belum menempatkan pendidikan sebagai kerja “akademik” dan penyelenggaraan pendidikan dibawah “otorita keilmuan”.
Pendidikan nasional juga diselenggarakan secara diskriminasi, jauh dari apa yang diidealkan, yaitu setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dan menyelenggarakan usaha-usaha pendidikan.
Kebijakan pendidikan kita, berpikir dalam acuan keseragaman. Dapat dikatakan bahwa selama ini kebijakan pendidikan semuanya terpusat. Kurikulum ditetapkan di pusat, tenaga pendidikan ditentukan dari pusat, sarana dan prasarana pendidikan diberikan dari pusat, dana pendidikan ditentukan dari pusat, semuanya diseragamkan dari pusat. Maka yang terjadi adalah masyarakat jadi pasif tidak tahu dan tidak dapat berkecimpung di dalam kehidupan pendidikan anak-anak mereka.
Padahal, masyarakat memiliki harapan dan dampak terhadap upaya pendidikan di Indonesia, walaupun mereka mempunyai perbedaan dalam status sosial, peranan dan tanggungjawab. Hal yang sangat ironis lagi, adalah menempatkan pendidikan sebagai kerja “non akademik”, pendidikan diselenggarakan dengan “otorita” kekuasaan “administratif-birokratis”, belum menempatkan pendidikan sebagai kerja “akademik” dan penyelenggaraan pendidikan dibawah “otorita keilmuan”.
Pendidikan nasional juga diselenggarakan secara diskriminasi, jauh dari apa yang diidealkan, yaitu setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dan menyelenggarakan usaha-usaha pendidikan.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking